TEKNOLOGI BUDIDAYA IKAN SIDAT BPPT AKAN DITERAPKAN DI MASYARAKAT
Indonesia merupakan tempat asal usul beragam spesies Ikan sidat (Anguilla
sp.) yang tersebar di seluruh dunia. Belum banyak nelayan di Indonesia
yang mengetahui dan mengembangkan ikan ini, padahal ikan ini sangat
diminati di pasar internasional khususnya Cina dan Jepang.
Masyarakat Jepang menyadari banyaknya
manfaat yang terkandung di dalam ikan sidat. Kandungan energi ikan sidat
lebih besar dari telur ayam yang mencapai 270 kkal/100 g, sementara
vitamin A yang terkandung di dalamnya tujuh kali lipat lebih banyak dari
yang terkandung dalam telur ayam hingga mencapai 4700 IU/100 g.
“Sejak tahun 1994 BPPT mencoba untuk memetakan dan mencari spawning ground ikan sidat jenis Anguilla bicolor bicolor yang masih berupa glass eel dan elver.
Siklus hidup ikan sidat ini berbanding terbalik dengan ikan salmon.
Ikan sidat dewasa akan mengeluarkan telurnya di laut dalam, kemudian
setelah menjadi glass eel dan elver, akan berpindah
ke air tawar atau payau. Baru setelah menjadi dewasa ikan ini akan
bermigrasi kembali ke laut dalam untuk melakukan proses
pemijahanâ€Â, tutur Perekayasa Bidang Teknologi Pengelolaan
Pengembangan Wilayah dan Pengembangan Kawasan, BPPT Odilia Rovara, Senin
(5/04).
Selama ini, menurut Odilia, belum ada pihak yang mampu melakukan budidaya dan pemijahan ikan sidat. Di Jepang sendiri dengan tingkat konsumsi ikan sidat yang tinggi belum berhasil melakukan pemijahan buatan. “Dalam proses pemetaan spawning ground, kita berhasil memetakan glass eel dan betinanya saja, tetapi kami kesulitan dalam menemukan ikan sidat jantan yang akan membuahi. Kondisi itulah yang menyebabkan mengapa hingga saat ini belum ada pihak yang berhasil melakukan pemijahanâ€Â.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa daerah spawning ground terkonsentrasi di Perairan Mentawai, Sumatera Barat. Melalui arus laut, larva ikan sidat tersebut diketahui banyak ditemukan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan di Segara Anakan, Cilacap. “Kenapa di kedua daerah tersebut? Karena daerah-daerah tersebut memiliki perairan mangrove yang memang merupakan habitat ikan sidat sebelum menjadi dewasa dan siap kembali bermigrasi ke laut dalamâ€Â, jelas Odilia.
Mulai dari tahun 2007, Tim BPPT yang terdiri dari Odilia Rovara, Iwan Eka Setiawan, Husni Amarullah dan Dedi Yaniharto bekerjasama dengan Kantor Pengelola Sumberdaya Konservasi Segara Anakan (KPSKSA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) di Sukabumi dan mitra industri lainnya, mencoba membudidayakan benih ikan sidat teradaptasi di Desa Panikel, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap.
“Dikarenakan kami tidak bisa menemukan ikan sidat jantan untuk melakukan pembuahan, akhirnya kami mencoba menjantankan benih-benih ikan sidat dengan mengkondisikan benih ikan sidat, selain juga melakukan penambahan hormon metiltestosteron. Hasilnya, kami berhasil melakukan penjantanan ikan sidat yang nantinya akan menjadi indukâ€Â, katanya.
Berbicara tentang kualitas, Odilia mengatakan bahwa masyarakat Jepang sangat mengutamakan faktor kualitas. “Pada umumnya yang mereka inginkan adalah ikan sidat ukuran 50 gram. Selanjutnya mereka lah yang akan membesarkan ikan sidat tersebut hingga ukuran yang mereka inginkan. Dengan itu, rasa dan kualitas daging ikan sidat akan terjaga dengan baikâ€Â
Ketidaktahuan masyarakat terhadap potensi ikan sidat menyebabkan harga ikan sidat dipasaran dalam negeri sangatlah murah. Untuk satu kilogram, hanya dibutuhkan uang sebesar Rp. 300 ribu, padahal di Jepang satu ekor benih ikan sidat dihargai sebesar ¥ 3. Hal ini menunjukkan bahwa pasar ikan sidat internasional terutama Jepang sangat menjanjikan.
“Tahun 2010 ini BPPT akan mencoba untuk melakukan alih teknologi pemeliharaan ikan sidat teradaptasi. Jadi, benih ikan sidat yang berhasil dibiakkan akan disosialisasikan kepada masyarakat, terutama nelayan. Setelah sosialisasi, kemudian kami juga akan mengadakan pelatihan bagi instruktur dan nelayan itu sendiri. Diharapkan setelah itu masyarakat dan nelayan Segara Anakan dapat mengembangbiakkan sendiri benih ikan sidat hingga ukuran 50 gram dan dapat diekspor ke negara-negara konsumen ikan sidat. Hal ini tentunya akan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri yang nantinya juga dapat berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakatâ€Â, kata Odilia. (YRA/humas)
Selama ini, menurut Odilia, belum ada pihak yang mampu melakukan budidaya dan pemijahan ikan sidat. Di Jepang sendiri dengan tingkat konsumsi ikan sidat yang tinggi belum berhasil melakukan pemijahan buatan. “Dalam proses pemetaan spawning ground, kita berhasil memetakan glass eel dan betinanya saja, tetapi kami kesulitan dalam menemukan ikan sidat jantan yang akan membuahi. Kondisi itulah yang menyebabkan mengapa hingga saat ini belum ada pihak yang berhasil melakukan pemijahanâ€Â.
Berdasarkan pemetaan yang dilakukan, dapat diketahui bahwa daerah spawning ground terkonsentrasi di Perairan Mentawai, Sumatera Barat. Melalui arus laut, larva ikan sidat tersebut diketahui banyak ditemukan di Pelabuhan Ratu, Sukabumi dan di Segara Anakan, Cilacap. “Kenapa di kedua daerah tersebut? Karena daerah-daerah tersebut memiliki perairan mangrove yang memang merupakan habitat ikan sidat sebelum menjadi dewasa dan siap kembali bermigrasi ke laut dalamâ€Â, jelas Odilia.
Mulai dari tahun 2007, Tim BPPT yang terdiri dari Odilia Rovara, Iwan Eka Setiawan, Husni Amarullah dan Dedi Yaniharto bekerjasama dengan Kantor Pengelola Sumberdaya Konservasi Segara Anakan (KPSKSA), Institut Pertanian Bogor (IPB), Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) di Sukabumi dan mitra industri lainnya, mencoba membudidayakan benih ikan sidat teradaptasi di Desa Panikel, Kecamatan Kampung Laut, Cilacap.
“Dikarenakan kami tidak bisa menemukan ikan sidat jantan untuk melakukan pembuahan, akhirnya kami mencoba menjantankan benih-benih ikan sidat dengan mengkondisikan benih ikan sidat, selain juga melakukan penambahan hormon metiltestosteron. Hasilnya, kami berhasil melakukan penjantanan ikan sidat yang nantinya akan menjadi indukâ€Â, katanya.
Berbicara tentang kualitas, Odilia mengatakan bahwa masyarakat Jepang sangat mengutamakan faktor kualitas. “Pada umumnya yang mereka inginkan adalah ikan sidat ukuran 50 gram. Selanjutnya mereka lah yang akan membesarkan ikan sidat tersebut hingga ukuran yang mereka inginkan. Dengan itu, rasa dan kualitas daging ikan sidat akan terjaga dengan baikâ€Â
Ketidaktahuan masyarakat terhadap potensi ikan sidat menyebabkan harga ikan sidat dipasaran dalam negeri sangatlah murah. Untuk satu kilogram, hanya dibutuhkan uang sebesar Rp. 300 ribu, padahal di Jepang satu ekor benih ikan sidat dihargai sebesar ¥ 3. Hal ini menunjukkan bahwa pasar ikan sidat internasional terutama Jepang sangat menjanjikan.
“Tahun 2010 ini BPPT akan mencoba untuk melakukan alih teknologi pemeliharaan ikan sidat teradaptasi. Jadi, benih ikan sidat yang berhasil dibiakkan akan disosialisasikan kepada masyarakat, terutama nelayan. Setelah sosialisasi, kemudian kami juga akan mengadakan pelatihan bagi instruktur dan nelayan itu sendiri. Diharapkan setelah itu masyarakat dan nelayan Segara Anakan dapat mengembangbiakkan sendiri benih ikan sidat hingga ukuran 50 gram dan dapat diekspor ke negara-negara konsumen ikan sidat. Hal ini tentunya akan meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri yang nantinya juga dapat berimbas pada peningkatan kesejahteraan masyarakatâ€Â, kata Odilia. (YRA/humas)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar